Labels

Powered by Blogger.

Our Partner

Place Banner Here
Place Banner Here
Place Banner Here
Place Banner Here
Sunday, January 16, 2011

Cerita Petani

Malam itu suasana sepi sekali di kampungku, ku duduk dihalaman depan menghadap ke kebun bambu, “loh kok kebun bambu?” ya iyalah rumahku kan dikampung 3 km Utara Jatinangor 1 km selatan Gunung Manglayang tepatnya Kampung Pangkalan Desa Cilayung Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang Jawa Barat. “Lah kok malah seperti ngisi bio data komplit buanget dari kampung sampai Provinsi nya” Ok kulanjutkan kembali ceritanya. Suhu pada malam itu dingin sekali tidak seperti dikota-kota besar, dalam keadaan yang dingin tersebut aku berfikir
‘Bagaimana jadinya kalau kebun bambu ini nantinya dijadikan kebun rumah “eh kebun rumah” maksudnya dialih fungsikan dari kebun bambu menjadi komplek perumahan. Apa jadinya ya bila itu terjadi? Yang terbayangkan  waktu itu “pagi dan sore tidak akan ada lagi kicauan burung anis yang mencari cacing untuk makan dan udara akan terasa panas”.
Tidak hanya kebun bambu didepan rumahku saja yang ternacam dialih fungsikan karena memang dengan pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan akan pentingnya sarana perumahan sulit untuk menghindarinya. Beberapa hari sebelumya pun aku berjalan-jalan disekitar lahan milik IPDN tepatnya di dekat Bumi Perkemahan Kiara Payung aku memandangi komplek bangunan pelatihan LAN (Lembaga Aparatur Negara) dulunya tempat itu adalah lahan pertanian “kok bisa ya ?”, padahal masyarakat disekitar tanah IPDN ini sangat memerlukan lahan untuk mereka bercocok tanam.
Menurut seorang bapak yang kebetulan bertemu pada hari itu dia bertutur panjang lebar kepadaku. Ku ceritakan sebagian saja ya, dan kuterjemahkan saja karena kita berbincangnya dengan Bahasa Sunda.  Atau lebih enaknya dicampur saja, OK dech kalo begitu kita mulai ceritanya dan pa yang terjadi TKP.
Perbincangan dimulai dengan sapaan ku pada si bapak
Aku>> Nuju naon kang? (Sedang apa pak?)
Bapak>> Nuju kieu we jang, istirahat nembe beres macul (Sedang Istirahat baru beres nyangkul)
Aku>> Sabaraha lega lahanna kang? (Berapa luas lahannya Pak?)
Bapak>> Ah ngan sapetak jang, teu kabagean lega da mun hayang lega oge sewa na mahal (Ah cuman satu petak, tidak kebagian luas jika ingin luaspun sewanya mahal)
Untuk sebentar aku tersontak kaget “SEWA?” fikirku, tapi tidak lama kagetnya aku bertanya lagi
Aku>> Ari sugan teh teu sewa kang? (Saya fikir tidak sewa Pak?)
Sambil tertawa siBapak menjawab
Bapak>> Jaman kiwari mana aya anu gratis jang, tapi dalah kumaha eleh we rakyat mah, keun bae ah sewa oge da perlu lahan keur pepelakan. (Jaman sekarang mana ada yang gratis, tapi mau apa lagi kalah rakyat mah, biarin saja sewa pun memang butuh lahan untuk bercocok tanam)
Belum sempat aku bertanya kembali sibapak melanjutkan pembicaraannya.
Bapak>> Nu ngeunahmah pangurusna we baroga lahan lalega, eta lahan anu ngurilingan kanang sapi disewana ku pengusaha ari pengusaha tea loba duitna. (Yang enakmah pengurnya mereka punya lahan yang luas, itu lahan yang mengelilingi kandang sapi disewanya sama pengusaha pengusahakan banyak duitnya).
Segitu dulu ya cerita sama si Bapaknya lain kali aku sambung lagi. Dari perbincangan tersebut aku menarik kesimpulan ternyata petani untuk mengelola lahan milik IPDN itu harus sewa, selain sewa pembagian lahan garapanpun tidak merata pengurusnya yang mendapatkan lahan lebih luas dan lahan strategis lebih diprioritaskan untuk orang berduit.  Sangat ironi memang di saat orang miskin memerlukan lahan untu bertani ternyata lahannya dijadikan bangunan, ada lahan yang kosong harus sewa, mau sewa lahannya habis sama orang yang diberi kepercayaan oleh IPDN. Ya mau bagaimana lagi, kita tinggal tunggu saja keberpihakan orang yang berkuasa kepada rakyat miskin sebagaiman janjinya sewaktu mereka berkampanye.

0 comments:

Followers